“Memberdayakan potensi menuju Generasi yang solid, mempunyai gagasan, bertanggung jawab terhadap lingkungan Serta berakhlakul karimah”.
Home » , , » ANSOR Untuk C.A.I Citarum Area Initiative

ANSOR Untuk C.A.I Citarum Area Initiative

Ditulis Oleh : Unknown pada hari: Senin, 10 Maret 2014 | 09.46

RELOKASI MASARAKAT WILAYAH SEMPADAN DAS CITARUM DENGAN 
KONSEP TATA RUANG WILAYAH YANG DIGAGAS MUDA GUNUNG WAYANG





LATAR BELAKANG
1.1.            RIWAYAT TANAH BONGKOR YANG AKAN MENJADI TEMPAT RELOKASI
Tanah bongkor di Kp. Pajaten RW 01 Dusun Goha I Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung Jawa Barat, pada tahun 1960 tanah tersebut adalah hutan belantara, pada tahun 1962 menjadi pemukiman yang dihuni masyarakat, bahkan salah satu orang tua bernama Inan meninggal dunia dan hingga sekarang makamnya pun masih ada dan tetap dirawat oleh keluarganya yang masih hidup.
Pada tahun 1970 ada upaya pengakuan dari pihak perkebunan Kertamanah PTPN VIII dulu dikenal dengan istilah kontrak Cinyiruan dengan penanaman Kina. Karena faktor kebodohan dan ketakutan atas upaya –upaya perebutan tanah oleh perkebunan, sebagian besar warga yang terusir dari tanah Bongkor malah menjadi buruh perkebunan sampai-sampai ada istilah sebutan “Engah-Engah” yang menandakan penghormatan yang setinggi-tingginya dari para buruh terhadap pegawai perkebunan, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi penjajahan bangsa asing terhadap bangsa Indonesia.
Pada tahun 1980 ada pembiaran terhadap tanaman perkebunan pada masa itu, sehingga ada warga masyarakat yang bernama Oyo Sukarya (alm), Oyon Mulyana (alm), Emed (alm), Maja (alm), Ahim (alm), Darma (alm), Inan (alm), Usuf (alm), Aji (alm), Basari (alm), Beton (alm), Umyasik (alm), Enin Icih (alm), dst. Disamping itu ada juga yang masih hidup yaitu Uju, Yaya dan Iyo. Dengan keberaniannya pada saat itu mereka menyewa tanah tersebut untuk ditanami sayuran, dan upaya sewa tanah tersebut juga diikuti oleh warga yang lainya. Setelah beberapa musim tanam warga masyarakat yang menyewa kembali terusir karena bukan hanya pihak perkebunan yang mengaku terhadap lahan tersebut, ada juga pihak kehutanan dan perum perhutani yang mengakui itu wilyah mereka, sehingga terjadi pergantian komoditi antara Kina yang ditanam perkebunan dan kayu Jengjen yang ditanam masyarakat dibawahi pihak kehutanan.
Pada tahun 1995/1996 tanah Bongkor disewakan oleh PTPN VIII kepada pihak PD. Hikmah dengan modus GAPOKTAN Mukti Tani Pangalengan untuk ditanami sayuran dengan harga sewa Rp. 4.000.000/ Ha dan luasnya mencapai ratusan Ha, dan proses sewa terus terjadi sampai dengan tahun sekarang. Namun pada tahun 2010 – 2011 dibeberapa bagian wilayah yang sudah habis sewaan PD Hikmah, kembali digarap oleh warga masyarakat hingga sekarang ± 25 Ha. Dan sebagiannya lagi sekitar 25 Ha masih ditanami Teh oleh pihak PTPN VIII dari tahun 2005 hingga sekarang, dan tanah ini yang sekarang dimohon warga untuk dimukimi.
Pemahaman terhadap sejarah inilah yang menguatkan warga masyarakat desa Tarumajaya yang terdiri dari warga Kampung Goha Lebak, Kampung Goha Tengah, Kampung Goga Kidul, Kampung Lembangsari, Kampung Cipadulang, Kampung Babakan Citarum, Kampung Komplek dan Kampung Pajaten yang tidak memiliki garapan untuk berupaya menguasai kembali tanah Bongkor untuk lahan pertanian maupun pemukiman.
Pada hari Rabu 25 September 2013, ratusan warga masyarakat mulai melakukan aksi penanaman pohon Pisang ditanah Bongkor yang masih terdapat tanaman Teh milik PTPN VIII, namun belum berlangsung lama upaya penanaman pohon Pisang mendapat reaksi yang keras dari pihak PTPN VIII sehingga ratusan pohon-pohon Pisang dibabat habis hingga keakar-akarnya, pengrusakan diduga oleh pihak PTPN VIII itu dilakukan pada hari Sabtu-Minggu tanggal 28-29 September 2013, dan pengrusakan itu berhasil didokumentasikan disekretariat Baraya Tani Bandung, pengrusakan pohon pisang itu dipicu dengan kondisi mabuk para pelakunya, karena terlihat disekitar bongkahan pohon pisang ditemukan botol minuman beralkohol golongan B dengan merk cap orang tua, sungguh sangat tidak mencerminkan pelayan masyarakat yang baik. Meski kesal ratusan warga masih tetap menanam pohon Pisang tanpa melakukan pengrusakan balik terhadap tanaman Teh yang ada, karena akibat pengrusakan tanaman PTPN VIII sudah banyak korban dari kaum petani yang dikriminalisasi, ini diakibatkan dengan tidak adanya kejelasan status hak kelola atas tanah-tanah yang luasnya Ribuan Ha di Kecamatan Kertasari.
Pada Hari Senin 30 September 2013, ratusan warga kembali melakukan penanaman pohon Pisang ditanah Bongkor, dan sudah terlihat Tanaman Teh ada yang merusak kembali, entah itu dilakukan oleh pihak PTPN VIII sendiri atau warga masyarakat yang lain, karena dari sisi gerakan yang sudah dibangun oleh ratusan penggarap yang mengawali penanaman Pisang tidak pernah melakukan pengrusakan terhadap tanaman Teh. Hal ini sangat disesalkan oleh ratusan petani, karena upaya pengrusakan itu dinilai merusak konstalasi gerakan yang tengah dibangun, dan seolah-olah melempar batu sembunyi tangan. Namun ratusan petani ini tetap teguh dalam prinsip gerakannya, tidak akan pernah terpancing dan tetap konsisten melakukan penanaman, hingga tiba saat dimana ratusan petani bisa berhadapan langsung dengan pihak PTPN VIII dalam mengetahui kebenaran status kepemilikan tanah Bongkor, karena dalam benak para petani tanah Bongkor adalah tanah leluhur dan saat inilah waktu yang tepat untuk digarap dan dimakmurkan kembali bagi warga masyarakat.
Pada hari Sabtu 12 Oktober 2013, sekitar 700 warga desa Tarumajaya melakukan penebangan tanaman Teh secara bersama-sama dari pukul 09.00 s/d 12.00, dan Alhamdulillah berjalan dengan lancer. Pada hari Minggu, 13 Oktober 2013, massa kembali bergerak dan berkumpul dilokasi bermaksud untuk menyelesaikan penebangan Teh, namun hal ini mendapat penolakan dari pihak Polres Bandung yang langsung hadir kelapangan Kapolres bersama jajarannya, Polsek Kertasari  yang langsung hadir kelapangan Kapolsek bersama jajarannya, Danramil bersama jajarannya, dan Camat Kecamatan Kertasari. Ratusan petani tetap memaksa untuk beraktivitas penebangan Teh,  namun Kapolres memberikan tawaran seluruh petani untuk diajak berdialog di gedung DPRD Kabupaten Bandung pada Hari Rabu tanggal 16 Oktober 2013, dengan syarat petani menghentikan dulu aktivitas dilapangan, ratusan petani sepakat.
Pada hari Rabu 16 Oktober 2013, masyarakat petani yang tergabung dalam Baraya Tani Bandung melakukan audiensi ke DPRD Kabupaten Bandung, dan diterima di gedung paripurna DPRD oleh Ketua dan Wakil Ketua DPRD, BPN Kabupaten Bandung dan Sekretariat Daerah bagian Hukum. Hasil dari audiensi tersebut adalah adanya dukungan secara tertulis dari Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bandung.
Pada hari Selasa 22 Oktober 2013, DPRD (komisi A Hikmat Budiman, komisi B Saeful Bahri dan Komisi KH. Wawan SH) dan Polres Bandung melakukan kunjungan lapangan untuk melakukan identifikasi keberadaan tanah bongkor, kondisi pemukiman dibantaran hulu sungai Citarum dan menyusun rekomendasi publik untuk ditindaklanjuti DPRD. Dan sampai saat ini masyarakat petani yang tergabung dalam Baraya Tani Bandung masih menunggu kepastian bahwa tanah bongkor tersebut dapat secepatnya bisa dilakukan pengukuran dan penataan sesuai gran disain tata ruang kampung Baraya yang telah dibuat sebagaimana keinginan masyarakat, dengan ketentuan dibagi rata dan tidak akan ada jual beli lahan dikemudian hari.
Selain itu juga, tanah bongkor terletak dibawah kaki gunung wayang yang merupakan induk dari situ Cisanti hulu sungai Citarum, Milliaran Rupiah uang Negara maupun utang luar Negeri digelentorkan untuk rehabilitasi hutan dan lingkungan, namun itu tidak memberi dampak berarti bagi warga sekitar, kalaulah gunung itu merupakan kawaswan strategis hulu sungai Citarum, maka upaya peningkatan kualitas hidup masyarakatnya pun butuh menjadi prioritas utama. Tidak hanya warga bantaran dan perkampungan yang tidak memiliki tanah, karyawan perkebunan-perkebunan pun sangatlah kekurang, sehingga Negara juga berkewajiban menyediakan lahan untuk pemukiman mereka, jangan sampai bantaran hulu sungai Citarum sudah berhasil dibenahi, suatu saat pensiunan perkebunan menghuninya kembali.
Sekian kronologis singkat yang mudah-mudahan menjadi pedoman bagi kita semua untuk mulai melakukan penataan ulang penguasaan dan pengusahaan tanah atas kegagalan badan usaha milik negara (BUMN), karena tanah merupakan hak dasar atas sumber kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bunyi UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “bumi, air, udara dan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk kesejahteraan masyarakat”.
 

GAMBARAN UMUM

2.1.            WILAYAH
Desa Tarumajaya termasuk di dalam Kecamatan Kertasari dengan luas 2745 Ha. Jarak desa ke ibukota kecamatan adalah 5 km, sedangkan ke ibukota kabupaten di Soreang adalah 58 km. Kondisi iklim di Desa Tarumajaya memiliki rata-rata suhu harian 15-20oC dengan ketinggian 1700 mdpl dan memiliki 6 bulan musim hujan dalam setahunnya. Secara administratif, Desa Tarumajaya terdiri dari 7 dusun yang terbagi menjadi 27 RW dan 97 RT. Dihuni oleh 4504 kepala keluarga.
Penguasaan lahan terbesar di desa adalah milik perkebunan, yaitu PTPN VIII seluas 1200 Ha (43,7%), Perum Perhutani seluas 819,9 Ha (29,9%), dan seluas PT. London Sumatera seluas 627,4 Ha (22,9%) dan hanya 97,7 Ha (3,6%) lahan yang menjadi milik masyarakat.

2.2.            KEPENDUDUKAN
Jumlah penduduk Desa Tarumajaya pada tahun 2013 adalah sebanyak 14.452 jiwa yang terdiri dari 7.131 jiwa laki-laki dan 7.321 jiwa perempuan.
Kelompok Mata Pencaharian Desa Tarumajaya
Mata Pencaharian
Jumlah KK 2006
Jumlah KK 2013
Petani
396
401
Buruh Tani
1832
2794
Karyawan tetap BUMN
494
509
Karyawan tetap PT. LONSUM

292
Pegawai negeri Sipil
70
29
Pengrajin
30

Pedagang
228
310
Peternak
1144
169
Montir
19

Industri Rumah Tangga
18

Jasa
23

Perikanan
80

Pensiunan
265

Sumber: Data monografi desa Tarumajaya 2006 dan 2013

Dari data-data tersebut diatas dapat kita lihat secara jelas, bahwa ketimpangan penguasaan lahan dari dulu hingga sekarang menjadi akar permasalahan sengketa lahan maupun konflik sosial dilingkungan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan lahan untuk pertanian dan pemukiman. Bahkan kondisi ini juga yang menjadikan warga masyarakat desa Tarumajaya banyak yang menggarap tanah-tanah Negara yang diusahakan BUMN baik Perum Perhutani maupun PTPN VIII, disamping itu juga banyak warga yang bermukim dibantaran hulu sungai Citarum sekitar ± 500 KK yang kebanyakan itu adalah eks karyawan PTPN VIII, keberadaan pemukiman tersebut sangatlah rawan bencana longsor serta banjir bandang dimusim penghujan.
Bentuk dampak lainnya yaitu terjadi terhadap sumber matapencaharian ekonomi masyarakat yang menempatkan 2794 (64,45%) KK yang bekerja menjadi buruh tani dengan upah Rp. 20.000 untuk laki-laki dan Rp. 15.000 untuk perempuan setiap harinya dalam waktu kerja 5 jam dari pukul 07.00 s/d 12.00 (adzan dzuhur). Kondisi matapencaharian ini semakin mempertegas kemiskinan yang terjadi di Desa Tarumajaya, dan hal ini tidak sebanding apabila dibandingkan dengan penguasaan tanah BUMN seluas 1200 Ha oleh PTPN VIII dan seluas 819,9 Ha oleh Perum Perhutani yang dari kedua BUMN tersebut hanya mempekerjakan hanya 509 KK, dan dalam penguasaan tanah badan usaha milik swasta PT. Lonsum seluas 627,4 Ha hanya mampu mempekerjakan 292 KK. Sedangkan petani yang hanya berjumlah 401 KK mampu mempekerjaan sebanyak 2794 (64,45%) KK. Fakta seperti ini memang harus menjadi pertimbangan para pemangku kebijakan untuk lebih jeli dalam menghitung efektifitas dan keberlangsungan sumber daya alam yang dikelola, agar lebih meningkatkan proporsionalnya untuk masyarakat petani dalam memperkuat sektor ekonomi pertanian dan ketanahan pangan dalam skala lokal, regional maupun nasional.
Kondisi ini tentu butuh perhatian yang sangat serius, karena merupakan pertanyaan besar ketika potensi alam yang begitu kaya malah menjadi lumbung kantong-kantong kemiskinan dipedesaan. Hal ini dipertegas dengan rendahnya peringkat kondisi indeks pembangunan manusia yang dibawah rata-rata IPM Kabupaten, bahwa desa Tarumajaya yang masuk kedalam Kecamtan Kertasari dan Kecamatan Kertasari merupakan kecamatan ke-30 dari 31 Kecamatan di Kabupaten Bandung.
            Sumber: Bappeda Kabupaten Bandung Tahun 2012


Indeks pembangunan manusia memang merupakan penilaian penting atas kualitas hak dasar warga Negara, namun sebelum bicara bagaimana indeks kualitas pendidikan, kesehatan dan daya beli, bagi masyarakat yang tinggal didaerah perkebunan dan kehutanan seperti warga desa Tarumajaya, tanah adalah hak dasar yang harus terpenuhi dalam menjalankan kehidupan sosialnya.
Tentu fasilitasi tanah untuk masyarakat harus diikuti dengan konsepsi yang jelas, agar keberlanjutan ekosistem dan ekologi dapat tetap terjaga secara adil dan lestari.

Bagikan Artikel Ini :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Satri Al-Fatah | MWC NU Kertasari | Mas Template
Copyright © 2011. PAC GP ANSOR KERTASARI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Operator Blog Roy Agunsa
Proudly powered by Blogger