RELOKASI MASARAKAT WILAYAH SEMPADAN DAS CITARUM DENGAN
KONSEP TATA RUANG WILAYAH YANG DIGAGAS MUDA GUNUNG WAYANG
LATAR
BELAKANG
1.1.
RIWAYAT TANAH BONGKOR YANG AKAN MENJADI TEMPAT RELOKASI
Tanah
bongkor di Kp. Pajaten RW 01 Dusun Goha I Desa Tarumajaya Kecamatan
Kertasari Kabupaten Bandung Jawa Barat, pada tahun 1960 tanah tersebut adalah
hutan belantara,
pada tahun 1962
menjadi
pemukiman yang dihuni masyarakat, bahkan salah satu orang tua bernama Inan
meninggal dunia dan hingga sekarang makamnya pun masih ada dan tetap dirawat
oleh keluarganya yang masih hidup.
Pada tahun 1970
ada upaya pengakuan dari pihak perkebunan Kertamanah PTPN VIII dulu dikenal
dengan istilah kontrak Cinyiruan dengan penanaman Kina. Karena faktor kebodohan dan ketakutan atas upaya
–upaya perebutan tanah oleh perkebunan, sebagian besar warga yang terusir dari
tanah Bongkor malah menjadi buruh perkebunan sampai-sampai ada istilah sebutan
“Engah-Engah” yang menandakan penghormatan yang setinggi-tingginya dari para
buruh terhadap pegawai perkebunan, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan
kondisi penjajahan bangsa asing terhadap bangsa Indonesia.
Pada tahun 1980
ada pembiaran terhadap tanaman perkebunan pada masa itu, sehingga ada warga
masyarakat yang bernama Oyo Sukarya (alm), Oyon Mulyana
(alm), Emed
(alm), Maja
(alm), Ahim
(alm), Darma
(alm), Inan
(alm), Usuf
(alm), Aji
(alm), Basari
(alm), Beton
(alm), Umyasik
(alm), Enin Icih
(alm), dst. Disamping
itu ada juga yang masih hidup yaitu Uju,
Yaya dan Iyo. Dengan
keberaniannya pada saat itu mereka
menyewa tanah tersebut untuk ditanami sayuran, dan upaya sewa tanah tersebut
juga diikuti oleh warga yang lainya. Setelah beberapa musim tanam warga
masyarakat yang menyewa kembali terusir karena bukan hanya pihak perkebunan
yang mengaku terhadap lahan tersebut, ada juga pihak kehutanan dan
perum perhutani yang mengakui itu wilyah mereka, sehingga terjadi pergantian komoditi antara Kina
yang ditanam perkebunan dan kayu Jengjen yang ditanam masyarakat
dibawahi pihak
kehutanan.
Pada tahun 1995/1996 tanah Bongkor disewakan oleh PTPN VIII kepada pihak PD. Hikmah dengan modus
GAPOKTAN Mukti Tani Pangalengan
untuk ditanami sayuran dengan harga
sewa Rp. 4.000.000/
Ha dan luasnya mencapai ratusan Ha,
dan proses sewa terus terjadi sampai dengan tahun sekarang. Namun pada
tahun 2010 – 2011 dibeberapa
bagian wilayah yang sudah habis sewaan PD Hikmah, kembali digarap oleh warga masyarakat
hingga sekarang ± 25 Ha. Dan
sebagiannya lagi sekitar 25 Ha masih ditanami Teh oleh pihak PTPN VIII dari
tahun 2005 hingga sekarang, dan tanah ini
yang sekarang dimohon warga untuk dimukimi.
Pemahaman
terhadap sejarah inilah yang menguatkan warga masyarakat desa Tarumajaya yang
terdiri dari warga Kampung Goha Lebak, Kampung Goha Tengah, Kampung Goga Kidul,
Kampung Lembangsari, Kampung Cipadulang, Kampung Babakan Citarum, Kampung
Komplek dan Kampung Pajaten yang tidak memiliki garapan untuk berupaya
menguasai kembali tanah Bongkor untuk lahan pertanian maupun pemukiman.
Pada
hari Rabu 25 September 2013, ratusan warga masyarakat mulai melakukan aksi
penanaman pohon Pisang ditanah Bongkor yang masih terdapat tanaman Teh milik
PTPN VIII, namun belum berlangsung lama upaya penanaman pohon Pisang mendapat
reaksi yang keras dari pihak PTPN VIII sehingga ratusan pohon-pohon Pisang
dibabat habis hingga keakar-akarnya, pengrusakan diduga oleh pihak PTPN VIII
itu dilakukan pada hari Sabtu-Minggu tanggal 28-29 September 2013, dan pengrusakan
itu berhasil didokumentasikan disekretariat Baraya Tani Bandung, pengrusakan
pohon pisang itu dipicu dengan kondisi mabuk para pelakunya, karena terlihat
disekitar bongkahan pohon pisang ditemukan botol minuman beralkohol golongan B
dengan merk cap orang tua, sungguh sangat tidak mencerminkan pelayan masyarakat
yang baik. Meski kesal ratusan warga masih tetap menanam pohon Pisang tanpa
melakukan pengrusakan
balik terhadap tanaman Teh yang ada, karena akibat pengrusakan
tanaman PTPN VIII sudah banyak korban dari kaum petani yang dikriminalisasi,
ini diakibatkan dengan tidak adanya kejelasan status hak kelola atas
tanah-tanah yang luasnya Ribuan Ha di Kecamatan Kertasari.
Pada
Hari Senin 30 September 2013,
ratusan warga kembali melakukan penanaman pohon Pisang ditanah Bongkor, dan
sudah terlihat Tanaman Teh ada yang merusak kembali, entah itu dilakukan oleh
pihak PTPN VIII sendiri atau warga masyarakat yang lain, karena dari sisi
gerakan yang sudah dibangun oleh ratusan penggarap yang mengawali penanaman
Pisang tidak pernah melakukan pengrusakan terhadap tanaman Teh. Hal ini sangat
disesalkan oleh ratusan petani, karena upaya pengrusakan itu dinilai merusak
konstalasi gerakan yang tengah dibangun, dan seolah-olah melempar batu sembunyi
tangan. Namun ratusan petani ini tetap teguh dalam prinsip gerakannya, tidak
akan pernah terpancing dan tetap konsisten melakukan penanaman, hingga tiba
saat dimana ratusan petani bisa berhadapan langsung dengan pihak PTPN VIII
dalam mengetahui kebenaran status kepemilikan tanah Bongkor, karena dalam benak
para petani tanah Bongkor adalah tanah leluhur dan saat inilah waktu yang tepat
untuk digarap dan dimakmurkan kembali bagi warga masyarakat.
Pada
hari Sabtu 12 Oktober
2013, sekitar 700 warga desa Tarumajaya melakukan penebangan tanaman Teh secara
bersama-sama dari pukul 09.00 s/d 12.00, dan Alhamdulillah berjalan dengan lancer. Pada hari Minggu, 13 Oktober 2013, massa kembali
bergerak dan berkumpul dilokasi bermaksud untuk menyelesaikan penebangan Teh,
namun hal ini mendapat penolakan dari pihak Polres Bandung yang langsung hadir
kelapangan Kapolres bersama jajarannya, Polsek Kertasari yang langsung hadir kelapangan Kapolsek
bersama jajarannya, Danramil bersama jajarannya, dan Camat Kecamatan Kertasari.
Ratusan petani tetap memaksa untuk beraktivitas penebangan Teh, namun Kapolres memberikan tawaran seluruh
petani untuk diajak berdialog di gedung DPRD Kabupaten Bandung pada Hari Rabu
tanggal 16 Oktober 2013, dengan syarat petani menghentikan dulu aktivitas
dilapangan, ratusan petani sepakat.
Pada hari
Rabu 16 Oktober 2013, masyarakat petani yang tergabung dalam Baraya Tani
Bandung melakukan audiensi ke DPRD Kabupaten Bandung, dan diterima di gedung
paripurna DPRD oleh Ketua dan Wakil Ketua DPRD, BPN Kabupaten Bandung dan
Sekretariat Daerah bagian Hukum. Hasil dari audiensi tersebut adalah adanya
dukungan secara tertulis dari Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bandung.
Pada hari Selasa 22 Oktober 2013, DPRD (komisi A Hikmat
Budiman, komisi B Saeful Bahri dan Komisi KH. Wawan SH) dan Polres Bandung
melakukan kunjungan lapangan untuk melakukan identifikasi keberadaan tanah
bongkor, kondisi pemukiman dibantaran hulu sungai Citarum dan menyusun rekomendasi
publik untuk ditindaklanjuti DPRD. Dan sampai saat ini masyarakat petani yang
tergabung dalam Baraya Tani Bandung masih menunggu kepastian bahwa tanah
bongkor tersebut dapat
secepatnya bisa dilakukan pengukuran dan penataan sesuai gran disain tata ruang
kampung Baraya yang telah dibuat sebagaimana keinginan masyarakat, dengan
ketentuan dibagi rata dan tidak akan ada jual beli lahan dikemudian hari.
Selain itu juga, tanah bongkor terletak dibawah kaki
gunung wayang yang merupakan induk dari situ Cisanti hulu sungai Citarum,
Milliaran Rupiah uang Negara maupun utang luar Negeri digelentorkan untuk
rehabilitasi hutan dan lingkungan, namun itu tidak memberi dampak berarti bagi
warga sekitar, kalaulah gunung itu merupakan kawaswan strategis hulu sungai Citarum,
maka upaya peningkatan kualitas hidup masyarakatnya pun butuh menjadi prioritas
utama. Tidak hanya warga bantaran dan perkampungan yang tidak memiliki tanah,
karyawan perkebunan-perkebunan pun sangatlah kekurang, sehingga Negara juga
berkewajiban menyediakan lahan untuk pemukiman mereka, jangan sampai bantaran
hulu sungai Citarum sudah berhasil dibenahi, suatu saat pensiunan perkebunan
menghuninya kembali.
Sekian
kronologis singkat yang mudah-mudahan menjadi pedoman bagi kita semua untuk
mulai melakukan penataan ulang penguasaan dan pengusahaan tanah atas kegagalan badan usaha milik
negara (BUMN), karena
tanah merupakan hak dasar atas sumber
kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bunyi UUD
1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “bumi, air, udara dan yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara untuk kesejahteraan masyarakat”.
GAMBARAN
UMUM
2.1.
WILAYAH
Desa
Tarumajaya termasuk di dalam Kecamatan Kertasari dengan luas 2745 Ha. Jarak
desa ke ibukota kecamatan adalah 5 km, sedangkan ke ibukota kabupaten di
Soreang adalah 58 km. Kondisi iklim di Desa Tarumajaya memiliki rata-rata suhu
harian 15-20oC dengan ketinggian 1700 mdpl dan memiliki 6 bulan musim
hujan dalam
setahunnya. Secara administratif, Desa Tarumajaya terdiri dari 7 dusun yang
terbagi menjadi 27 RW dan 97 RT. Dihuni oleh 4504 kepala keluarga.
Penguasaan
lahan terbesar di desa adalah milik perkebunan, yaitu PTPN VIII seluas 1200 Ha
(43,7%), Perum Perhutani seluas
819,9 Ha (29,9%),
dan seluas PT. London Sumatera seluas 627,4 Ha (22,9%) dan hanya 97,7 Ha (3,6%) lahan yang menjadi milik masyarakat.
2.2.
KEPENDUDUKAN
Jumlah penduduk Desa Tarumajaya
pada tahun 2013
adalah sebanyak 14.452
jiwa yang terdiri dari 7.131
jiwa laki-laki dan 7.321
jiwa perempuan.
Kelompok Mata Pencaharian Desa
Tarumajaya
Mata Pencaharian
|
Jumlah KK
2006
|
Jumlah KK
2013
|
Petani
|
396
|
401
|
Buruh
Tani
|
1832
|
2794
|
Karyawan tetap BUMN
|
494
|
509
|
Karyawan tetap PT. LONSUM
|
292
|
|
Pegawai
negeri Sipil
|
70
|
29
|
Pengrajin
|
30
|
|
Pedagang
|
228
|
310
|
Peternak
|
1144
|
169
|
Montir
|
19
|
|
Industri
Rumah Tangga
|
18
|
|
Jasa
|
23
|
|
Perikanan
|
80
|
|
Pensiunan
|
265
|
Sumber: Data monografi desa Tarumajaya 2006 dan
2013
Dari data-data tersebut diatas
dapat kita lihat secara jelas, bahwa ketimpangan penguasaan lahan dari dulu
hingga sekarang menjadi akar permasalahan sengketa lahan maupun konflik sosial
dilingkungan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan lahan untuk pertanian dan
pemukiman. Bahkan kondisi ini juga yang menjadikan warga masyarakat desa
Tarumajaya banyak yang menggarap tanah-tanah Negara yang diusahakan BUMN baik
Perum Perhutani maupun PTPN VIII, disamping itu juga banyak warga yang bermukim
dibantaran hulu sungai Citarum sekitar ± 500 KK yang kebanyakan itu adalah eks
karyawan PTPN VIII, keberadaan pemukiman tersebut sangatlah rawan bencana
longsor serta banjir bandang dimusim penghujan.
Bentuk dampak lainnya yaitu
terjadi terhadap sumber matapencaharian ekonomi masyarakat yang menempatkan 2794
(64,45%) KK yang bekerja menjadi buruh tani dengan upah Rp. 20.000 untuk
laki-laki dan Rp. 15.000 untuk perempuan setiap harinya dalam waktu kerja 5 jam
dari pukul 07.00 s/d 12.00 (adzan dzuhur). Kondisi matapencaharian ini semakin
mempertegas kemiskinan yang terjadi di Desa Tarumajaya, dan hal ini tidak
sebanding apabila dibandingkan dengan penguasaan tanah BUMN seluas 1200 Ha oleh
PTPN VIII dan seluas 819,9 Ha oleh Perum Perhutani yang dari kedua BUMN
tersebut hanya mempekerjakan hanya 509 KK, dan dalam penguasaan tanah badan
usaha milik swasta PT. Lonsum seluas 627,4 Ha hanya mampu mempekerjakan 292 KK.
Sedangkan petani yang hanya berjumlah 401 KK mampu mempekerjaan sebanyak 2794
(64,45%) KK. Fakta seperti ini memang harus menjadi pertimbangan para pemangku
kebijakan untuk lebih jeli dalam menghitung efektifitas dan keberlangsungan
sumber daya alam yang dikelola, agar lebih meningkatkan proporsionalnya untuk
masyarakat petani dalam memperkuat sektor ekonomi pertanian dan ketanahan
pangan dalam skala lokal, regional maupun nasional.
Kondisi ini tentu butuh
perhatian yang sangat serius, karena merupakan pertanyaan besar ketika potensi
alam yang begitu kaya malah menjadi lumbung kantong-kantong kemiskinan
dipedesaan. Hal ini dipertegas dengan rendahnya peringkat kondisi indeks
pembangunan manusia yang dibawah rata-rata IPM Kabupaten, bahwa desa Tarumajaya
yang masuk kedalam Kecamtan Kertasari dan Kecamatan Kertasari merupakan kecamatan
ke-30 dari 31 Kecamatan di Kabupaten Bandung.
Sumber: Bappeda Kabupaten Bandung Tahun 2012
Indeks
pembangunan manusia memang merupakan penilaian penting atas kualitas hak dasar
warga Negara, namun sebelum bicara bagaimana indeks kualitas pendidikan,
kesehatan dan daya beli, bagi masyarakat yang tinggal didaerah perkebunan dan
kehutanan seperti warga desa Tarumajaya, tanah adalah hak dasar yang harus
terpenuhi dalam menjalankan kehidupan sosialnya.
Tentu
fasilitasi tanah untuk masyarakat harus diikuti dengan konsepsi yang jelas,
agar keberlanjutan ekosistem dan ekologi dapat tetap terjaga secara adil dan
lestari.
0 komentar:
Posting Komentar